TINJAUAN
HUKUM ATAS OPTIMALISASI ASET YANG BERMASALAH (CONTOH: KASUS TANAH PLUMPANG)
OLEH:
PRADANA WIRABUANA- 15/BPS-LEGAL/2011
Jurusan : LEGAL
PERTAMINA LEARNING CENTER (PLC)
BIMBINGAN
PROFESI SARJANA PT PERTAMINA TAHUN 2011
Jakarta, 1
Agustus 2011 – 31 Juli 2012
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah
wa syukurillah, segala puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Kertas Kerja Wajib yang berjudul “Tinjauan
Hukum Atas Optimalisasi Aset yang Bermasalah”, ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan,
sebagai salah satu syarat kelulusan
pada program Bimbingan Profesi Sarjana
PT. Pertamina (Persero) tahun 2011.
Pada kesempatan Penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Kertas Kerja Wajib ini, antara lain
kepada:
1. Direksi dan jajaran manajemen serta
seluruh
staff
PT Pertamina (Persero).
2. Vice President Pertamina Learning
Center dan jajaran
manajemen beserta seluruh staff.
3. Bapak Ida Bagus
Dwijaksara selaku
pembimbing KKW,
atas
bimbingan, ilmu
dan kesabarannya dalam penyusunan Kertas Kerja Wajib ini.
4. Ibu, Bapak, adik, dan teman dekat atas support
dan
semangat yang diberikan selama penulis menjalani program BPS.
5. Teman-teman BPS LEGAL-2011 atas kebersamaan dan semangat yang diberikan selama menjalani program BPS.
6. Semua
pihak yang telah membantu
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis mohon maaf bila terdapat
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak.
Akhirnya penulis
hanya
bisa
berharap semoga Kertas
Kerja
Wajib ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis
sendiri dan bagi pihak-pihak terkait pada umumnya.
Mari kita bangun PT.Pertamina (Persero) menjadi perusahaan World Class Company. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta , 01 Juni 2012
Pradana Wirabuana
KATA PENGANTAR....................................................
|
i
|
DAFTAR
ISI............................................................................
|
ii
|
RINGKASAN..........................................................................
|
iv
|
BAB 1
PENDAHULUAN
|
|
1.1 Latar Belakang.....................................................................
|
1
|
1.2 Ruang Lingkup.....................................................................
|
2
|
1.3 Maksud dan Tujuan..............................................................
|
2
|
1.4 Metode Pendekatan...............................................................
|
2
|
1.5 Sistematika
Penulisan...........................................................
|
3
|
|
|
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
|
|
2.1 Deskripsi Keadaan dan Gejala Permasalahan.......................
|
4
|
2.2 Perumusan Masalah..............................................................
|
5
|
|
|
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
|
|
3.1 Penyelesaian Atas Optimalisasi Aset yang
dalam Keadaan yang
Bermasalah............................................................................
|
6
|
3.1.1Tinjauan
Hukum............................................................
|
6
|
3.1.1.1 Hukum
Kontrak.......................................................
|
8
|
3.1.1.2
Asas hukum perjanjian dalam perancangan kontrak
|
9
|
3.2 Bentuk Optimalisasi Aset
Yang Dapat Dilakukan.................
|
13
|
3.4 Alur
Proses Optimalisasi Aset................................................
|
17
|
|
|
BAB IV PENUTUP
|
|
4.1 Kesimpulan...........................................................................
|
20
|
4.2
Saran-Saran...........................................................................
|
20
|
DAFTAR PUSTAKA
|
|
RINGKASAN
Banyaknya aset yang dimiliki Pertamina
membuat Pertamina harus bekerja ”Extra”
dikarenakan sebagian aset tersebut masih dalam kondisi idle atau belum dioptimalkan dan bahkan banyak permasalahan yang
terjadi pada aset Pertamina seperti, tanah yang belum bersertifikat (Non Clear), tanah yang tidak dikuasai
secara fisik oleh Pertamina (Non Free),
adanya klaim dari pihak ketiga, diduki oleh Penghuni Tanpa Hak dan adanya
gugatan di pengadilan, salah satu contohnya adalah tanah yang berada di kawasan
Plumpang – jakarta utara yang sudah ditempati oleh warga sejak lama, hal ini
membuat Direksi / Manajemen ingin segera menyelesaikan permasalahan tersebut
dikarenakan dapat mengganggu bisnis dan citra Pertamina, tetapi permasalahan
yang sudah berlarut-larut ini menjadi perkara yang sulit untuk diselesaikan,
berangkat dari hal tersebut banyak metode penyelesaian yang sudah ditempuh.
Dalam penulisan Kertas Kerja Wajib ini
penulis ingin menjabarkan bagaimana tinjauan hukum atas permasalahan aset/tanah
yang dalam keadaan bermasalah untuk dapat dioptimalisasikan sehingga memberikan
keuntungan buat Pertamina. Terutama dari segi tinjauan hukumnya yang berupa
teori-teori yang bersifat normatif dan metode optimalisasi aset yang dapat di
implementasikan oleh Pertamina. Semoga dengan sedikit sumbangan dari tulisan
ini dapat menyelesaikan permasalahan aset yang dimiliki oleh Pertamina.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
BUMN
pada umumnya ataupun perusahaan besar lain memilki aset yang banyak,
namun seringkali mengalami permasalahan dalam hal pengelolaannya. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya aset yang tersebar luas, sehingga tidak dapat dikontrol
dengan baik. Selain itu, saat ini masih sedikit sekali BUMN yang memilki
tenaga ahli dalam hal pengelolaan aset.
Keadaan seperti ini tentunya menyebabkan banyak aset yang menganggur. BUMN
biasanya lebih fokus pada pengelolaan aset yang memang terkonsentrasi pada bidang
usaha mereka, sedangkan aset lain yang kurang mendukung produksi kurang
dikelola. Karena hal seperti ini, menyebabkan BUMN yang kehilangan asetnya karena
diklaim oleh pihak lain. Dan di saat seperti itu, BUMN mulai sibuk mengurusi asetnya.
Hal yang sama
terjadi pada Pertamina yang notabene merupakan BUMN dengan aset jumlahnya
banyak dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Aset tersebut biasanya
berupa tanah dan
bangunan baik yang berada di kantor pusat maupun di berbagai unit operasi.
Sekadar gambaran, dari Data yang diperoleh bahwa untuk Aktiva Tetap dalam Neraca
Pembukaan PT Pertamina (Persero) berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 23 Tahun 2008 adalah sebesar Rp 73 triliun lebih. Terkait dengan aset-aset Pertamina diatas masalah yang harus segera dibenahi adalah masalah optimalisasi
aset properti yang belum berjalan dengan
baik. Dari aset yang sudah resmi milik Pertamina pun, masih banyak aset
harus dibenahi. Di luar aset operasi (AO) yang merupakan aset yang dipergunakan
dalam kegiatan operasional perusahaan yang dipakai secara berkelanjutan dan
dipakai pada masa datang
, Pertamina masih harus memaksimalkan
pendayagunaan aset penunjang usaha
(APU) yaitu Aset Non Operasi berupa tanah dan bangunan termasuk fasilitas dan
peralatan pendukungnya yang menunjang operasional Perusahaan yang banyak
tersebar di berbagai tempat. Banyak aset penunjang usaha yang non inti yang
menganggur (idle), sehingga tidak menghasilkan pendapatan bagi Pertamina,
aset ini justru menjadi beban dan membutuhkan biaya untuk pemeliharaan, pajak, dan lain-lain.
1.2
Ruang Lingkup
Penulisan Kertas Kerja Wajib (KKW) akan dibatasi pada pembahasan permasalahan
dari aspek hukum perjanjian/keperdataan sehubungan dengan Optimalisasi Aset yang
bermasalah (dalam hal ini aset yang bermasalah adalah aset yang ditempati oleh
Penghuni Tanpa Hak (PTH) dan klaim pihak ketiga bukan aset yang sedang digugat
di pengadilan) dengan contoh kasus tanah plumpang dan cara optimalisasinya.
1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan
Maksud penulisan KKW ini adalah untuk
memenuhi syarat wajib dalam pendidikan Bimbingan Profesi Sarjana (BPS) Hukum Pertamina
tahun 2011. Sedangkan tujuan penulisan laporan adalah penulis ingin mengetahui mengenai bagaimana cara mengoptimalisasikan aset
yang sedang dalam keadaan bermasalah yang berupa Klaim Pihak ketiga, Penghuni
Tanpa Hak namun tidak dalam sengketa di Pengadilan.
1.4
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam
penulisan KKW ini adalah pendekatan hukum normatif yaitu pendekatan penelitian
dengan menganalisa permasalahan dari segi hukum
dengan mendasarkan pada peraturan-peraturan hukum dan dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan topik permasalahan.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder merupakan
sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui
media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya
berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip
(data dokumenter), data
sekunder yaitu dari penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia, literatur-literatur, arsip-arsip dan buku-buku yang menunjang
penulisan KKW ini.
1.5
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan KKW ini adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan. Terdiri dari latar belakang masalah, ruang lingkup, maksud
dan tujuan penulisan, metode pendekatan, sistematika penulisan dan definisi.
Bab
II : Identifikasi Permasalahan. Terdiri
dari deskripsi keadaan dan gejala permasalahan serta perumusan pokok
permasalahan.
Bab
III : Pembahasan Masalah. Terdiri
dari upaya-upaya yang dapat dilakukan Pertamina dalam mengoptimalisasikan Aset
tersebut, untuk menghindari kerugian yang lebih besar sehubungan dengan
permasalahan hukum ini.
Bab IV
: Penutup. Terdiri dari
kesimpulan dan saran-saran
BAB
II
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
2.1
Deskripsi Keadaan dan Gejala Permasalahan
Status tanah yang dimiliki Pertamina saat ini dapat dikategorikan
menjadi beberapa bagian seperti : free
and clear (memiliki sertifikat dan lahan dikuasai oleh Pertamina), non free and clear (tidak memiliki
sertifikat tetapi fisik dikuasai penuh), free
and non clear (tidak memiliki sertifikat dan tetapi fisik dikuasai penuh),
dan yang terakhir adalah non free and non
clear (tidak memiliki sertifikat dan fisik tidak dikuasai penuh). Dari
jumlah luas total lahan yang dimiliki Pertamina (120.843.181 M2)
sebagian besar (51.437.308 M2) merupakan lahan yang non free and non clear, sehingga perlu
dikelola dengan baik sebab tanah tersebut merupakan harta kekayaan Pertamina.
Dalam tulisan ini penulis akan memberikan contoh tanah yang bermasalah
yang cocok untuk dioptimalisasi adalah tanah Plumpang yang sudah bermasalah sejak lama terkait dengan adanya
Penghuni Tanpa Hak dan Klaim dari Pihak Ketiga dan bagaimana optimalisasi tanah
tersebut, Tanah Plumpang yang dibeli oleh Pertamina dari PT Mastraco berdasarkan
Akta Pelepasan Hak atas Tanah (APHT) yang dibuat Notaris Januar Hamid yang
terdiri dari beberapa akta yaitu : 1.Akta No 15, tanggal 30 Mei 1969 seluas
462.065 M (45 Ha), 2.Akta No 6 tanggal 17 April 1969 seluas 410.571 (41 Ha),
3.Akta No 10, tanggal 24 September 1969 seluas 470.000 M2 (47 Ha),
4.Akta No 2 tanggal 8 April 1970 seluas 280.000 M2 (28 Ha), 5.Akta
No 5 tanggal 25 Nopember 1970 seluas 300.000 M2 (30 Ha), semua akta tersebut
digabung menjadi satu akta yaitu akta perubahan No.36 tanggal 8 April menjadi
seluas 1.534.510 M2 (153 Ha). Dari luas total 153 Ha tersebut hanya
sekitar 40 % (62 Ha) yang dikuasai oleh Pertamina yang dipergunakan untuk,
Depot BBM, LPG Filling Plant, Gudang
pelumas, Gedung Arsip, Eks Elnusa Petrofin, selebihnya dikuasai oleh Penghuni
Tanpa Hak (PTH) yang terdiri dari 3
kelurahan dan 2 kecamatan, terdapat 35.000 Jiwa yang tinggal di tanah tersebut.
Saat ini tantangan terbesarnya adalah bagaimana untuk dapat
mengoptimalisasikan tanah tersebut ditengah permasalahan yang terjadi seperti
klaim dari pihak ketiga dan penghuni tanpa hak sehingga memberikan keutungan
untuk perusahaan dikarenakan tidak semua perusahaan / pengusaha yang ingin
bekerja sama dengan tanah yang sedang bermasalah / bersengketa, padahal bila
ditinjau dari segi keuntungan bisnisnya tanah tersebut terletak di lokasi yang
sangat strategis dan sangat menguntungkan apabila di optimalkan penggunaannya.
2.2 Perumusan Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan
pokok permasalahan yang akan dibahas, yaitu:
1. Apakah aset yang bermasalah dapat di optimalisasikan?
2.
Bagaimanakah
bentuk optimalisasi yang dapat dilakukan?
BAB
III
PEMBAHASAN
MASALAH
3.1
Penyelesaian Atas Optimalisasi Aset Bermasalah
SK No.Kpts-72/C00000/2008-S0
tentang Optimalisasi Aset Penunjang Usaha, mengatur Prinsip-prinsip yang harus
dilaksanakan dalam mengoptimalisasikan aset, yaitu:
1. Efektif, berarti harus sesuai dengan
kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar
besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan oleh perusahaan.
2. Efisien, berarti diusahakan dengan
menggunakan dana, daya, dan fasilitas yang sekecil kecilnya, untuk mencapai
sasaran yang ditetapkan dalam waktu yang sesingkat singkatnya dan dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Kompetitif, berarti harus dilakukan
melalui seleksi dan persaingan yang sehat diantara mitra.
4. Transparan, proses pemilihan mitra
kerjasama optimalisasi Aset Penujang Usaha
(APU) secara terbuka.
Selain itu juga optimalisasi aset
mempunyai tujuan untuk:
1. meningkatkan nilai ekonomi aset
2. menghasilkan dan meningkatkan
pendapatan atas aset
3. meningkatkan status kepemilikan
serta penguasaan aset
4. mengurangi beban biaya Perusahaan
(Cost Saving)
5. menyediakan layanan properti kepada
perusahaan
3.1.1. Tinjauan Hukum
Manusia adalah makhluk sosial manusia
yang selalu berhubungan dengan sesama.
Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi
kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk hubungan
keperdataan. Untuk melindungi kepentingannya dalam hubungan bisnis maka
biasanya dituangkan dalam perjanjian.
Perjanjian diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yang dalam bahasa Belanda disebut dengan Verbintenis yang diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum
indonesia. Ada yang menterjemahkan dengan “Perutangan”, “Perjanjian”, atau
“Perikatan”.
Istilah perjanjian tersebut dalam kalangan bisnis dan dunia usaha lainnya
sering disebut dengan kontrak. menurut pasal
1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu
orang atau lebih. Pengertian ini menimbulkan kritik dari banyak ahli hukum,
karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak,
padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal
balik antara kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban
masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai
sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri
satu sama lain.
Kapan sebenarnya perjanjian tersebut
timbul dan mengikat para pihak? Menurut Pasal 1320 KUH Perdata perjanjian harus
memenuhi 4 syarat agar memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang
membuatnya. Hal tersebut adalah:
1. Kesepakatan para pihak
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
(misalnya; cukup umur, tidak dibawah pengampuan, dll.)
3. Menyangkut hal tertentu.
4. Adanya kausa yang halal.
Akibat timbulnya perjanjian tersebut,
maka para pihak terikat didalamnya dan dituntut untuk melaksanakannya dengan
baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata,
yaitu:
1. Perjanjian yang dibuat oleh para
pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Perjanjian yang telah dibuat tidak
dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak atau karena
adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.
3. Perjanjian harus dibuat dengan
itikad baik.
Ketentuan yang ada dalam Pasal 1338 KUH
Perdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan berkontrak untuk membuat kontrak
dan perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan
untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak
melanggar ketentuan perundang undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat.
Setelah perjanjian timbul dan mengikat
para pihak, hal yang menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang pelaksanaan
perjanjian itu sendiri. Selama kerap timbul permasalahan bagaimana jika salah
satu pihak tidak melaksanakan ketentuan yang dinyatakan dalam perjanjian dan
apa yang seharusnya dilakukan jika hal tersebut terjadi, menurut KUH Perdata,
bila salah satu pihak tidak menjalankan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
yang tertuang dalam perjanjian ataupun telah memenuhi kewajibannya namun tidak
sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai
wanprestasi.
3.1.1.1 Hukum Kontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata
disebutkan bahwa adanya kebebasan para pihak dalam menentukan hal-hal apa saja
yang ingin dituangkan di dalam kontrak atau dikenal dengan asas kebebasan
berkontrak. Asas Kebebasan Berkontrak (
Party Autonomy atau
Freedom
of Contract), hingga saat ini tetap menjadi asas penting dalam sistem hukum
perjanjian baik dalam sistem
civil law system,
common law sytem maupun
dalam sistem hukum lainnya. Hal ini dikarenakan, asas kebebasan berkontrak merupakan
suatu asas yang bersifat universal berlaku di semua Negara.
Di
samping itu asas kebebasan berkontrak sebagai perwujudan atas pengakuan hak
asasi manusia. Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak
memiliki bargaining power yang seimbang. Faktanya kedudukan para pihak
dalam perjanjian sering kali tidak seimbang sehingga dimungkinkan sekali pihak
yang punya kedudukan yang lemah pada suatu perjanjian akan dirugikan. Melihat
hal tersebut dalam perkembangannya penerapan asas kebebasan berkontrak pada
perjanjian dibatasi pemberlakuannya, oleh negara dengan peraturan-peraturan
perundang-undangannya dan oleh hakim pengadilan dengan melalui
putusan-putusannya serta praktek praktek kebutuhan kegiatan ekonomi masyarakat.
Hal ini dikarenakan asumsi yang berkembang adalah bahwa memegang teguh ajaran
asas kebebasan berkontrak secara mutlak dapat menyebabkan dan melahirkan ketidakadilan
dalam suatu perjanjian.
3.1.1.2 Asas-asas hukum perjanjian dalam perancangan
kontrak
Sebagaimana
dikemukakan oleh Subekti bahwa suatu azas adalah suatu dasar yang mendukung
adanya suatu sistem. Setiap sistem mengadung beberapa azas yang menjadi pedoman
dalam pembentukan dan dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas dari
azas-azas yang mendukungnya.
Dengan mengemukakan azas akan diperoleh suatu keseragaman hukum atau paling
tidak akan diperoleh bentuk dasar dari berlakunya suatu sistem, menurut
Nieuwenhuis seperti yang dikutip oleh Hendry Panggabean bahwa hubungan fungsional
azas hukum dengan peraturan adalah bahwa azas-azas hukum itu berfungsi sebagai
pembangun-pembangun sistem, karena azas-azas itu bukan hanya mempengaruhi hukum
positif, tetapi juga dalam banyak keadaan menciptakan suatu sistem baru.
Dalam perancangan Kontrak ada Asas-asas Hukum yang
dapat diterapkan:
a) Asas
Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract) Kebebasan untuk membuat
perjanjian yang meliputi:
— Kebebasan
untuk menentukan kehendak untuk menutup atau tidak menutup perjanjian;
—
Kebebasan untuk memilih dengan pihak mana akan
ditutup suatu perjanjian;
—
Kebebasan untuk menetapkan isi perjanjian;
—
Kebebasan untuk menetapkan bentuk perjanjian;
—
Kebebasan untuk menetapkan cara penutupan
perjanjian;
—
Asas ini tercantum di dalam pasal 1338 KUH Perdata.
b) Asas Konsensualitas (Consensus)
·
Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian,
yang ditandai dengan apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh
pihak lainnya.
·
Asas ini tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
·
Konsensus ini tidak ada bila terdapat 3 (tiga)
hal (Pasal 1321 KUH Perdata) yaitu:
·
Paksaan (dwang);
·
Kekhilafan (dwaling);
·
Penipuan (bedrog).
c)
Asas Mengikat sebagai Undang-undang (pacta sunt servanda)
Perjanjian yang dibuat secara sah
mengikat kedua belah pihak seperti mengikatnya sebuah undang-undang terdapat di
dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
d) Asas
Obligatoir
Maksud Asas ini adalah bahwa suatu
kontrak sudah mengikat para pihak seketika setelah tercapainya kata sepakat,
akan tetapi daya ikat ini hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban para pihak.
Pada tahap tersebut hak milik atas suatu benda yang diperjanjikan (misal,
perjanjian jual beli) belum berpindah. Untuk dapat memindahkan hak milik
diperlukan lagi suatu tahap lagi yaitu kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst). Wujud konkrit kontrak kebendaan ini adalah
tindakan penyerahan (levering) atas benda yang bersangkutan dari tangan penjual
ke tangan pembeli. Tahapan penyerahan ini penting untuk diperhatikan karena
menimbulkan konsekuensi hukum tertentu. Misalnya dalam suatu perjanjian jual
beli barang belum diserahkan kepada pembeli, jika barang tersebut hilang atau
musnah, maka pembeli hanya berhak menuntut pengembalian harga saja, akan tetapi
tidak berhak menuntut ganti rugi, Karena secara hukum hak milik atas benda tersebut
belum berpindah kepada pembeli. Hal ini dikarenakan belum terjadi kontrak
kebendaan berupa penyerahan benda tersebut kepada pembeli. Berbeda jika barang
tersebut sudah diserahkan kepada pembeli dan selanjutnya dipinjam oleh penjual,
maka jika barang tersebut rusak atau musnah maka pembeli berhak menuntut
pengembalian harga dan ganti rugi.
e) Asas
Keseimbangan
Maksud Asas ini adalah bahwa kedudukan
para pihak harus dalam keadaan seimbang. Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan
bahwa tiada kata sepakat dianggap sah apabila diberikan karena kekhilafan,
keterpaksaan, atau penipuan.
f) Asas
Itikad Baik (Good Faith)
·
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian
itikad baik adalah
“in or with good faith, honestly, openly, and sincerely, without deceit
or fraud. Truly, actually,
without simulation or pretense”.
·
Prof. Subekti, SH merumuskan itikad baik sebagai
berikut: “Itikad baik diwaktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran. Orang
yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang
dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian
hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan”.
·
Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata: “Perjanjian-perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik” Jadi bila disimpulkan Itikad baik
adalah suatu sikap batin atau keadaan
kejiwaan manusia yang, jujur, terbuka (tidak ada yang disembunyikan atau
digelapkan), tulus ikhlas & sungguh-sungguh.
Yang
menjadi dasar hukum substantif murni bagi kegiatan optimalisasi aset ini adalah
ketentuan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata. Perjanjian yang berasal dari
bahasa inggris Contract adalah:
An agreement between
two or more person which creates an obligation to do or not to do a particular
thing , its essentials are competent parties, subject matter, a legal
consideration, mutually of agreement, and mutually of obligation…the writing
which contains the agreement of parties , with the terms and conditions and
which serves as a proof of the obligation.
Suatu
transaksi hanya mungkin terjadi bilamana ada persetujuan antara para pihak yang
dalam bahasa inggris disebut dengan Agreement. Traksksi (transaction) adalah:
Act of transacting
or conducting any business, negotiation, management, proceding, that which is
done …something which has taken place, where by a cause of action has risen.
Jadi
transaksi adalah suatu tindakan menimbulkan tindakan timbal balik atas
penyelenggaraan suatu bisnis. Dan transaksi juga mencakup unsur-unsur
merundingkan, mengelola, memproses yang telah diputuskan.
Pasal
1313 KUH Perdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Perjanjian dengan demikian dipahami sebagai penjumpaan nalar yang lebih-lebih
merupakan penjumpaan pendapat atau ketetapan maksud atau dengan kata lain
perjanjian adalah penjumpaan dua nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan
atau akan dilakukan. Dengan demikian kontrak memiliki unsur-unsur, pihak-pihak
yang berkompeten, pihak yang disetujui, pertimbangan hukum, persetujuan timbal
balik dan kewajiban timbal balik.
Jika
disimak pengertian-pengertian diatas dapatlah ditarik suatu hubungan antara
pengertian transaksi, persetujuan, kontrak dan perjanjian kerjasama
optimalisasi aset sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian pada umumnya yang
lahir dari asas kebebasan berkontrak. Dalam hal ini hukum perjanjian merupakan
skema yang sifatnya umum. Dalam banyak hal skema tersebut dapat disesuaikan
dengan bentuk dan isi dari perjanjian yang disepakati oleh para pihak.
Kesepakatan
perjanjian optimalisasi aset ini (perjanjian kerjasama) didasari atas satu atau
lebih kontrak maka dengan sendirinya hukum tentang perjanjian pada umumnya
menjadi salah satu dasar hukumnya. Pemberlakuan asas kebebasan berkontrak
menjadi sangat penting dalam hukum perjanjian kerjasama mengingat masalahnya
masih sedikit aturan mainnya dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian yang
konvensional seperti perjanjian jual-beli.
Dari
rumusan diatas dapat diketahui bahwa kita dapat melakukan kontrak dengan siapapun dan dapat menuangkan
isi kontrak apapun yang kedua belah pihak telah sepakati dengan syarat memenuhi
pasal 1320 KUH Perdata dan tidak bertentangan dengan Undang-undang. Sehingga
Pertamina dapat melakukan optimalisasi aset yang bermasalah dengan cara :
1. Dalam
fase Prakontraktual Pertamina harus memberitahukan permasalahan aset yang akan
dikerjasamakan, sehingga mitra yang ingin bekerjasama mengetahui dengan jelas
dan berkeinginan menjadi mitra tanpa paksaan juga tidak merasa tertipu dan
mitra dapat menghitung biaya yang akan dikeluarkan juga resiko yang akan
ditanggung.
2. Kedua
belah pihak dapat menentukan bentuk dan isi kontrak sebagai implementasi dari
Pasal 1338 KUH Perdata tentang asas kebebasan berkontrak.
3.2
Bentuk
Optimalisasi Aset Yang Dapat Dilakukan
Menurut
Peraturan Menteri BUMN No.6/MBU/2011 tentang Pendayagunaan Aktiva Tetap Badan
Usaha Milik Negara Optimalisasi Aset mempunyai berbagai macam bentuk
diantaranya adalah:
1.
Kerjasama Bangun Serah Guna (Build Operate and Transfer
/ BOT), adalah kerjasama pendayagunaan aktiva tetap Perusahaan oleh Mitra
kerjasama dengan cara mendirikan bangunan dan atau sarana dan fasilitasnya
kemudian didayagunakan oleh mitra kerjasama tersebut untuk jangka waktu
tertentu, untuk selanjutnya diserahkan kembali ke Perusahaan setelah
berakhirnya jangka waktu kerjasama yang telah disepakati. Hal ini dapat
mendukung dan mengembalikan investasi, operasi dan pemeliharaan di dalam proyek
tersebut. ini didasarkan atas asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) karena sampai saat ini belum ada pengaturan
khusus yang mengatur masalah Bangun Guna Serah. Namun di dalam praktek usaha
sehari-hari, bentuk kerjasama investasi dengan sistem Bangun Guna Serah (BOT)
telah banyak dilakukan baik antara pemerintah (pemilik hak eksekutif) dengan
investor maupun antar pemilik lahan dengan investor
2.
Kerjasama Bangun Serah Guna (Build Transfer and Operation / BTO), perjanjian ini sebenarnya
merupakan variasi dari sistem BOT. dalam sistem BTO, begitu selesai pembangunan
proyek tersebut, langsung saja proyek yang bersangkutan diserahkan kepada
pemilik. Dengan demikian segala resiko yang timbul setelah penyerahan tersebut
menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemilik. Kemudian pihak pemilik
mempersilahkan pihak investor untuk mengoperasikan bangunan tersebut termasuk
memungut hasil/revenue dari proyek tersebut untuk jangka waktu tertentu, yang
merupakan imbalan dari pelaksanaan dari proyek pembangunan tersebut. Jadi hal
tersebut berbeda dengan sistem BOT yang serah terima proyek baru dilaksanakan
setelah berakhirnya hak operasional dari pihak investor selama masa konsesi.
3.
Kerjasama Sewa Menyewa (Rent), adalah kerjasama pendayagunaan aktiva tetap dimana mitra
kerjasama menggunakan aktiva tetap perusahaan selama jangka waktu tertentu
sesuai dengan yang diperjanjikan, dan apabila masa sewanya telah berakhir maka
mitra mengembalikan aktiva tetap ke perusahaan.
4.
Kerjasama Bangun Milik Sewa (Build Owned and Rent / BOR), Adalah kerjasama pendayagunaan aktiva
tetap Perusahaan oleh mitra kerjasama, dimana mitra kerjasama mendirikan
bangunan dan atau sarana dan fasilitasnya, yang kemudian setelah selesai
dibangun oleh mitra kerjasama maka bangunan dan atau sarana fasilitasnya langsung
diserahkan kepada perusahaan dimana mitra kerjasama memiliki opsi untuk menyewa
bangunan dan atau fasilitasnya.
Di
dalam perjanjian kerjasama tersebut diatas sebaiknya dibuat klausul agar tanah
tersebut harus dikosongkan terlebih dahulu dan dibuat bufferzone yang
mengelilingi depot agar tidak berbatasan langsung dengan tangki depot yang
dilakukan oleh Investor dan biaya pengosongan dan biaya-biaya lain seperti
pensertifikatan tanah dan uang kerohiman kepada warga sekitar dapat
diperhitungkan dalam perjanjian dengan demikian pola kerjasama tersebut tidak
saja hanya untuk berbagi keuntungan, akan tetapi lebih penting lagi adalah
menyelesaikan permasalahan tanah Pertamina.
Berdasarkan
Peraturan Menteri BUMN No 6 Tentang Pendayagunaan Aktiva Tetap, Perjanjian dalam rangka melaksanakan
Pendayagunaan Aktiva Tetap, sekurang-kurangnya mengatur tentang hal-hal sebagai
berikut:
·
Identitas para pihak, termasuk dasar kewenangan pihak yang menandatangani;
·
Objek
perjanjian;
·
Ruang lingkup;
·
Saat
mulai dan jangka waktu perjanjian;
·
Kompensasi
dan cara pembayaran atau penyerahan kompensasi;
·
Berakhirnya
perjanjian serta konsekuensi yang ditimbulkan, termasuk penyerahan kembali
objek perjanjian kepada BUMN;
·
Mekanisme pengambilalihan aktiva tetap yang
dikerjasamakan sebelum berakhirnya perjanjian, apabila dibutuhkan oleh BUMN;
·
Cidera
janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya;
·
Pemutusan
kontrak secara sepihak;
·
Penyelesaian
sengketa yang mengutamakan penyelesaian melalui musyawarah dan alternatif
penyelesaian sengketa beserta
domisili hukum; dan
·
Jaminan
pihak mitra untuk
bertanggungjawab atas segala kewajiban kepada pihak ketiga yang timbul selama
masa perjanjian, apabila tidak
diselesaikan sampai dengan berakhirnya masa perjanjian.
·
Ketentuan pelaksanaan umum, yang berisi mengenai
lingkup pekerjaan, biaya pembangunan, syarat pelaksanaan pembangunan, uji
terima, kewajiban para pihak, asuransi, pengawas pelaksana, laporan, izin-izin,
dokumentasi, keselamatan kerja gudang dan pos kerja, kerugian dan kerusakan.
·
Ketentuan pengoperasian dan proses bagi hasil,
yang berisi mengenai pengoperasian, pelaksanaan pemasaran, pembagian
pendapatan, tarif, asset dan penyerahan hak.
·
Ketentuan lain, yang berisi jaminan investor,
force majeure, pemutusan perjanjian, domisili, penyelesaian perselisihan,
lampiran, amandemen, forum konsultasi, perjanjian tambahan, dan penutup
Perjanjian Pendayagunaan
aset dibuat dalam Bahasa
Indonesia dan Perjanjian
Pendayagunaan aset terhadap aset yang berlokasi di luar wilayah Indonesia, dapat
dilakukan dalam Bahasa Inggris.
3.3 Alur Proses Optimalisasi
Aset
Berikut tahapan yang harus
dilalui dalam proses optimalisasi aset
TAHAPAN KERJASAMA (TANPA PELEPASAN)
Setuju
Peminat < 3
Peminat
> 3
|
|
|
|
|
|
|
|
·
Ijin kerjasama
(Kepmen BUMN No 236)
|
|
|
|
 |
|
 |
|

Proposal<3
Setuju
Fungsi terkait misal:
Hukum, PIMR, Keu dll
|
|
Proposal
> 3
Mekanismenya
adalah:
a.
Ijin Prinsip
meliputi hal-hal sebagai berikut:
- Kondisi
Aset
• Luas
• Dokumen
• Pencatatan di buku Perusahaan
• Biaya-biaya yang timbul sebelumnya
• Status Penguasaan (misal di huni PTH,dll)
• Pemanfaatan saat ini
- Daftar dan
Profil Calon Mitra yang Diundang
- Alasan Mengajukan Calon Mitra tersebut
• Memiliki
Pengalaman yang memadai di Industri Properti dan menyelesaikan permasalahan;
• Memiliki
pengalaman mengembangkan di area sekitar;
• Sudah
mengajukan perminatan sebelumnya .
b.
Term
of Reference (TOR) meliputi hal-hal sebagai berikut:
- Latar
belakang
• Lokasi Aset
• Status kepemilikan aset
• Kondisi aset
• Status pemanfaatan aset
- Maksud dan
Tujuan Optimalisasi
- Lingkup
Kerjasama
• Melakukan
pengembangan lahan
• Penyelesaian
sengketa lahan apabila ada
• Sertifikasi
apabila belum bersertifikat
• Pengosongan
PTH apabila ada
- Penyampaian Dokumen/Proposal
• Administrasi/Legal
Perusahaan
• Finansial/Keekonomian
dari rencana pengembangan
c. Pemilihan dan penetapan Calon Mitra Sewa
Pemilihan dan penetapan calon mitra dilaksanakan
sebagai berikut:
1.
Melakukan
Prakualifikasi terhadap calon mitra yang meliputi persyaratan administrasi,
kemampuan pendanaan, kinerja perusahaan, kualifikasi, dan pengalaman
2.
Pemilihan
Mitra dilakukan dengan cara penawaran umum, penawaran langsung atau penunjukan
langsung terhadap daftar calon mitra terpilih untuk mendapatkan mitra yang
terbaik potensial sesuai yang diharapkan perusahaan.
3.
Calon
mitra, fungsi terkait dan atau tim penawaran yang ditunjuk untuk melaksanakan
penawaran Aset wajib mencegah terjadinya pertentangan kepentingan pihak-pihak
yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses optimalisasi aset.
4.
Pelaksanaan
penawaran optimalisasi dilaksanakan dengan tertib dan terkendali.
d.
Tahap Evaluasi Proposal (Klarifikasi &
Negosiasi)
1. Evaluasi
Teknis
2. Evaluasi
Keekonomian
e.
Tahapan setelah Evaluasi Proposal
1. Negosiasi/Pendalaman
Proposal
2. MoU
/ Nota Kesepahaman
3. Feasibility
Study (FS) dilakukan untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek dari
perjanjian yang akan dilaksanakan dari berbagai sudut pandang yang diperlukan
(misalnya: ekonomi, keuangan, teknik, pemasaran, lingkungan, budaya dan hukum).
Hasil studi ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan
hal-hal yang telah di negosiasikan sebelumnya.
4. Perijinan
5. Pembuatan
Perjanjian
f.
Evaluasi
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
1.
Berdasarkan
teori dan tinjauan hukum yang sudah dijabarkan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa aset yang bermasalah dapat dioptimalisasikan, dan sebagai
implementasi Pasal 1338 KUH Perdata para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan
isi perjanjian dengan syarat memenuhi
Pasal 1320 KUH Perdata dan Asas-asas berkontrak, tetapi di dalam kontraknya
diatur mengenai klausul-klausul yang memberikan jaminan keamanan bagi para
pihak yaitu Pertamina dan pihak penyewa sehingga kedua belah pihak merasa aman
dalam bermitra, dan dari hasil optimalisasi aset ini dapat membuat aset idle
menjadi bermanfaat dan memberikan keuntungan untuk Pertamina.
2.
Bentuk
Optimalisasi dari pola kerjasama ini adalah dapat berupa BOT (Build
Operate and Transfer), BTO (Build
Transfer and Operate), BOR (Build owned
and Rent) dan Sewa menyewa (Rent).
4.2 Saran-saran
1.
Pertamina
harus dapat menseleksi dengan baik Mitra-mitra yang akan bekerjasama dengan
Pertamina, mitra kerjasama tersebut harus sudah berpengalaman dalam melakukan
pengembangan lahan dan Mitra yang akan bekerja sama disyaratkan untuk dapat
melakukan pengosongan lahan, pembangunan buffer zone, ganti rugi kepada warga
dan lebih baik lagi apabila dapat melakukan sertifikasi lahan tersebut.
2. dengan syarat Mensertipikatkan lahan tersebut atas nama
Pertamina (termasuk melengkapi dokumen kepemilikan) Menyelesaikan klaim telah ada dan yang mungkin timbul, Melaksanakan pengosongan lahan dari penghuni tanpa hak dan bangunan liar,
dengan seminimal mungkin menghindari konflik sosial di lapangan. Pengosongan
lahan ini ada kemungkinan harus melakukan pembayaran uang kerohiman, membayar Pajak
Bumi & Bangunan selama masa kerjasama Menyiapkan lahan untuk pembangunan
bufferzone Melakukan penataan dan pengembangan lahan Mengurus semua perijinan kepada instansi terkait dalam rangka penataan
kawasan Plumpang ini Semua
biaya dikeluarkan oleh mitra kerjasama. yang mana biaya pengosongan tanah,
Pensertifikatan dan ganti rugi terhadap warga tersebut dapat dikompensasikan
kedalam biaya sewa tanah tersebut, yang pada intinya adalah bukan hanya untuk
mendapat keuntungan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelesaikan
permasalahan tanah Pertamina.